Pemerintah diingatkan agar tak tergoda untuk menggelar operasi militer di Papua pasca-insiden penembakan yang menewaskan delapan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Semua pihak juga diingatkan agar tak terburu-buru menyalahkan dan menyudutkan aparat intelijen terkait masalah itu.
Peringatan ini disampaikan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto dan Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, secara terpisah, kemarin.
"Sebaiknya, jangan diselesaikan dengan operasi militer," ujar Endriartono Sutarto. Dia menyatakan, pelaku penembaknya harus ditindak tegas dengan mencari dan memproses secara hukum. "Tapi tidak harus dilakukan dengan operasi militer," katanya.
Menurut Endriartono, pemerintah tak boleh membiarkan pelaku pembunuhan itu tidak tersentuh hukum. "Tapi pemerintah juga harus mencari akar masalahnya. Kalau misalnya insiden itu terjadi karena mereka merasa diperlakukan tidak adil, pemerintah harus memperbaikinya," ujarnya saat ditemui di Asrama Haji Sukolilo. Surabaya.
Seperti diberitakan, dua peristiwa penembakan yang terjadi pada Kamis (21/2), menewaskan delapan anggota TNI. Aksi aksi penyerangan terhadap pos Satgas TNI di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, pukul 09.30 WIT, menewaskan Pratu Wahyu Bowo, yang terkena tembakan di bagian dada dan leher. Sementara Komandan Pos Satgas Lettu Inf Reza, mengalami luka tembak di lengan kiri.
Insiden kedua terjadi sekitar pukul 10.30 WIT di Kampung Tanggulinik, Distrik Sinak, Kabupaten Puncak. Tujuh dari 10 anggota Koramil Sinak, Kodim 1714/Puncak Jaya yang sedang menuju Bandara Sinak untuk mengambil logistik dan radio kiriman dari Nabire mendadak diserang kelompok bersenjata.
Agus Gumiwang Kartasasmita, meminta semua pihak tak terburu-buru menyalahkan intelijen atas kasus penembakan anggota TNI di Papua.
Menurut dia, banyak faktor yang memungkinkan terjadinya peristiwa kriminal semacam itu. Pertama, medan Papua yang tidak bersahabat, banyak bebukitan, hutan yang lebat dan sebagainya.
Kedua, kata dia, menyangkut wewenang intelijen yang tidak seperti dulu. Di mana, intelijen sekarang hanya bisa melakukan deteksi dini, tak bisa melakukan penangkapan. Ketiga, kaum separatis memiliki peluang dan kemampuan untuk melakukan tindakan seperti yang sering terjadi di Papua.
Agus menjelaskan, Komisi I DPR akan memanggil Panglima TNI dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mempertanyakan masalah tersebut.
Sementara itu, berbagai negara mengutuk keras insiden yang menewaskan anggota TNI. Amerika Serikat (AS), dalam rilis situs online-nya, akhir pekan lalu, mengutuk aksi kekerasan yang menyebabkan kematian delapan tentara Indonesia.
"Kami turut belasungkawa yang mendalam kepada para keluarga korban. Kami menyambut pernyataan Pemerintah Indonesia yang akan menangkap dan mengadili para pelaku, sesuai hukum RI," demikian pernyataan website tersebut.
Duta Besar Australia untuk Indonesia Gred Moriarty, juga menyatakan, turut berduka cita atas tertembaknya delapan prajurit TNI di Papua yang terjadi pada Kamis (21/2).
Siaran pers Kedubes Australia di Jakarta, yang diterima Suara Karya di Jakarta, Minggu (24/2), menyebutkan, pemerintah Australia menilai insiden itu hanya akan merugikan masyarakat Papua sendiri, dalam mewujudkan NKRI yang aman, damai, dan sejahtera.