Kasus tertembaknya delapan anggota TNI dan empat warga sipil di Papua merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam memahami keinginan masyarakat Papua. Hingga saat ini pemerintah pusat hanya melihat problem ketidakmerataan pendapatan masyarakat Papua.
"Menurut saya pemerintah gagal memahami apa keinginan masyarakat Papua. Kegagalan ini akhirnya terjadi seperti sekarang. Jakarta memahami Papua hanya problem ketidakadilan pendapatan, Papua tidak mendapatkan pendapatan," kata Sekjen DPP Gerindra Ahmad Saiful Muzanni, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (26/2/2013).
Bahkan kata dia, Pemerintah Pusat hanya melihat persoalaan ketidakmerataan penghasilan itu sebagai persolaan budaya.
"Pemerintah menyelesaikan duit bagi hasil dan duit melimpah di Papua. Per penduduk mendapat dana sebesar Rp10 juta per tahun. Ini menganggap peristiwa budaya, ada adat istiadat yang gagal dipahami oleh pemerintah dengan Dewan Adat Papua. Yang diharapkan Jakarta tidak tercapai," kata anggota Komisi I DPR itu.
Peristiwa tewasnya tentara, polisi dan warga sipil di Papua, kata dia, akan terus berulang, karena pemerintah tidak bisa menciptakan rasa aman di Papua. "Jadi menurut saya, harus ada pendekatan komprehensif, apa yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah tidak boleh tipis kuping," jelas dia.
Seharusnya kata dia, pemerintah bisa mencontoh penyelesaian kasus Aceh. Sehingga ancaman Papua berpisah dengan Indonesia bisa terhindari. Bagi dia, Papua sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
"Semuanya ada penyelesaian. Aceh menjadi contoh. Bersatunya Papua dan Republik adalah harga mati tanpa pertumpahan darah dan nyawa. Kalau perlu presiden berkantor di Papua. Saya tidak ingin kericuhan," imbuhnya.