Wacana asuransi khusus bencana perlu mendapatkan prioritas pembahasan di tahun 2011. Sebab, sepanjang tahun 2010, tercatat berbagai bencana mulai gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir dan gunung meletus terjadi di Tanah Air. Hal ini membuat Indonesia seperti 'pasar bencana'. Namun, penanganan bencana yang sudah diamanatkan oleh UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) belum secara maksimal memberikan rasa aman dan benar-benar terlindunginya rakyat dari bencana, baik sebelum, saat, maupun pascabencana. Hal tersebut disampaikan oleh anggota Tim Pengawas Bencana Komisi VIII DPR RI Muhamad Arwani Thomafi dalam pernyataan persnya. "Perlu dicari sebuah terobosan, misalnya terkait dengan wacana asuransi. Dalam upaya melindungi masyarakat dari ancaman bencana dikenal ada 2 (dua) jenis asuransi yaitu perlindungan personel dan kerusakan rumah. Contoh di Kalimantan Timur telah mengasuransikan rumah terhadap ancaman kebakaran dan di Bantul mengusulkan asuransi rumah terhadap ancaman gempa," katanya. Dari evaluasi penanganan bencana di tahun 2010, menurut Wakil Sekretaris F-PPP ini, sebagian besar persoalan terjadi pada fase pemulihan ekonomi masyarakat pascabencana. Arwani mencontohkan, salah satu yang menjadi persoalan adalah masalah kelembagaan. Seperti diketahui, UU Penanggulangan Bencana mengamanatkan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di provinsi dan kabupaten/kota tiga tahun setelah terbitnya UU tersebut. "Namun, sampai saat ini tercatat sampai dengan Juni 2010, baru terbentuk BPBD di 24 provinsi dan 113 kabupaten/kota. Tentu ini menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap persoalan bencana. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri harus menegur gubernur/Bupati/walikota yang belum segera membentuk BPBD," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, juga terkait dengan persoalan regulasi yang terkait pendataan aset ekonomi korban bencana yang harus diganti rugi dan juga persoalan perencanaan dalam penanganan bencana tidak mendapat tempat yang memadai dalam perencanaan pembangunan. Hingga kini, belum ada perencanaan kontingensi berdasar skenario ancaman yang sudah ada dan diperkirakan akan menjadi bencana. "Kebijakan-kebijakan yang ada menunjukkan kesenjangan dan atau tumpang tindih. Perlu ada parameter penetapan dan gradasi keadaan bencana dan implikasinya terhadap tanggung jawab pemerintah. Penentuan fase kedaruratan masih berdasar pada jangka waktu dan bukan kebutuhan masyarakat yang terkena bencana," tandas anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah III ini.