Kegaduhan soal penaikan harga elpiji 12 kg harus direspons pemerintah dengan langkah lebih maju, tak sekadar berputar soal membatalkan atau meneruskan kenaikan harga. Langkah maju ialah memikirkan solusi jangka panjang dengan memilih Liquified Natural Gas (LNG) atau gas alam cair sebagai alternatif energi.
"Deposit LNG yang dimiliki Indonesia cukup besar sehingga menekan ketergantungan Indonesia kepada asing dalam memproduksi LPG (Elpiji). Bahan dasar elpiji sebagian besar masih diimpor. Jika ada alternatif LNG, maka mayoritas bahan dasar bisa diperoleh dari dalam negeri dan diproduksi sendiri," ujar anggota komisi VII Dewi Aryani, Minggu (5/1).
Sekadar informasi, kata dia, Kilang LNG Pertamina di Arun, Nanggroe Aceh Darussalam, ada 6 train dengan kapasitas 12,5 juta ton. Sedangkan LNG Badak di Bontang, Kalimantan Timur, mencapai 8 train dengan kapasitas 18,5 juta ton. Itu belum termasuk sumber potensial LNG yang belum tergali. Angka itu sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rakyat terhadap elpiji. Sebut saja misal, pada 2013, sekitar 977 ribu ton kebutuhannya.
"Jika pemerintah memberi alternatif, maka ketergantungan terhadap elpiji dapat teratasi dan setidaknya konsumen bisa memilih yang sesuai dengan kebutuhan dan daya beli mereka, apakah akan memilih LPG atau LNG," katanya.
Ketua DPR Marzuki Alie juga menganjurkan kepada pemerintah agar menggunakan gas alam yang berlimpah. Untuk itu, pembangunan infrastruktur gas alam oleh PGN harus dipercepat. "Persoalannya, seriuskah? Kalau infrastruktur dibangun, lima tahun ke depan kita bisa lebih berhemat menggunakan sumber daya gas," katanya.
Jika hanya mengandalkan elpiji terus untuk keperluan sehari-hari, maka harganya akan tergantung oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar. Intinya, Marzuki bilang, "Itu tidak efisiennya kerja Pertamina."