Demokrat: MK tak mau diawasi

Partai Demokrat mempertanyakan obyektivitas Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menolak seluruhnya isi Undang-undang nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Hary Witjaksana menilai putusan itu membuat MK terkesan tak mau diawasi.

"Dia jadi seakan tidak mau diawasi dengan membatalkan Undang-undang MK ini. Padahal, pengawasan yang ada di Perppu MK sebenarnya jalan keluar dari persoalan yang terjadi di tubuh mahkamah itu. Tapi lagi-lagi MK menolak," ujar Hary di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari ini.

Sikap MK yang tak mau diawasi, menurut Hary, terlihat dari keputusannya yang membatalkan fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial tahun 2006. Sekarang, fungsi pengawasan di dalam Undang-undang MK berupa Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) permanen yang berasal dari KY dan Mahkamah Agung juga dihapuskan MK.

Hary lalu mempertanyakan etika MK memutus perkara yang menyangkut lembaganya sendiri. "Agak kurang etis, MK mengadili permohonan terkait dirinya sendiri. MK menjadi agak sulit untuk obyektif," ucap Hary.

Menurut Hary, perlu dicari jalan keluar lain untuk memberikan pengawasan eksternal terhadap MK. Lembaga apa pun, lanjutnya, perlu ada sebuah sistem check and balances. Untuk mencari jalan keluar ini, Hary mengaku tidak mudah. Pasalnya, jika DPR mengajukan revisi undang-undang MK lagi, tetap akan berpotensi diuji dan selanjutnya dibatalkan kembali oleh MK.

"Yang paling diperlukan adalah sikap kenegarawanan dari para hakim konstitusi itu," ucap Hary.

Seperti diberitakan, dengan putusan MK tersebut, substansi UU No 4 Tahun 2014 yang menyangkut persyaratan calon hakim konstitusi, pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menjadi hilang. MK memutuskan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali.

Mahkamah berpendapat, pembentukan Perppu yang kemudian menjadi UU MK dinilai tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Meskipun kegentingan yang memaksa menjadi subjektifitas Presiden, menurut MK, subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya sesuai yang disyaratkan konstitusi.

Diposting 14-02-2014.

Dia dalam berita ini...

Harry Witjaksono

Anggota DPR-RI 2009-2014 Jawa Barat VI
Partai: Demokrat