Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai Bank Indonesia (BI) perlu lebih memperbaiki pengelolaan suplai dan demand nilai tukar. Pasalnya, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah terus merangkak (long rally) sejak September 2011 lalu. Rupiah terdepresiasi 37 persen dari Rp 8.400 per dolar AS menjadi Rp 13.900 per dolar AS.
Anggota Komisi XI DPR Andreas Susetyo menyatakan sejak awal harusnya BI memperkuat pengelolaan supply dan demand dolar AS yang menjadi titik lemah stabilitas nilai tukar. Ia menggambarkan setidaknya untuk kebutuhan pembayaran utang negara saja (debt to service ratio) sekitar US$ 3 miliar, dikurangi surplus perdagangan sekitar US$ 700 juta ditambah capital outflow dari investasi portofolio.
“Kebijakannya harus menguatkan supply dolar AS, seperi devisa hasil ekspor harus dikonversikan ke rupiah tapi ini harus mengubah peraturan devisa segala macam, contoh lain insentif pengurangan pajak bunga deposito, tapi pertanyaan besarnya kenapa ini gak dilakukan sejak Januari lalu?,” katanya di Jakarta, Kamis (8/10).
BI juga perlu memperdalam pasar keuangan yang masih sangat tipis, sekitar US$ 1-2 miliar saja per hari. Berbanding Malaysia US$ 15 miliar per hari dan Singapura US$ 300 miliar per hari. Sehingga jika ada pihak yang melakukan quotation (masuk) seperti PT Pertamina (Persero) misal hendak impor US$ 175 juta, supply dolar AS kurang. Dalam hal ini BI bisa memanfaatkan jaringan di Singapura dan New York.
“Memang sih perwakilan BI di luar gak bisa langsung masuk, tapi masak BI cuma masuk ke pasar di pagi dan sore hari, bagaimana Non Delivery Forward (NDF) nya gak melonjak 200 persen? BI kan juga bisa pakai kebijakan baru kalau dia masuk ke pasar bisa di-forward?,” kata Andreas.
Alternatif lain adalah menggunakan dolar dalam Sang Mai Initiative Billateral Swap Agreement dengan Tiongkok, Korea dan Jepang serta ASEAN 3 plus. “Kenapa mereka masih menunggu (menahan penggunaan swap agrrement)? Perlu paradigma Indonesia gak sendiri mereka standby with us, jadi harusnya BI punya rencana masuk kapan yang jelas, masuk di level rupiah berapa? Depresiasi ruiah 18 persen year to date menunjukkan kebijakan pengelolaan nilai tukar BI tidak berdasarkan neraca supply dan demand lagi,” katanya.
Alasan BI tidak melakukan quotation untuk menghemat cadangan devisa juga dinilai kurang tepat. Buktinya dalam beberapa hari saja, cadangan devisa menurun US$ 3,6 miliar menjadi US$ 101,7 miliar. Padahal jika sejak awal ketika posisi rupiah masih Rp 13.000 per dolar AS BI masuk ke pasar, intervensinya tidak sampai perlu sebesar itu.
“Cadangan devisa kita menipis hampir di bawah US$ 100 miliar, dan jangan main-main ini kalau sudah di bawah US$ 100 miliar ada efek psikologisnya, beruntung saja data ketenagakerjaan AS tidak sebaik ekspektasi, sehingga semua turun dolarnya, tapi big question is kemana arahnya BI?,” tambahnya.
Arah kebijakan BI juga dipertanyakan ketika menerapkan kewajiban hedging bagi importir dan perusahaan yang memiliki pinjaman dolar AS saja, tidak bagi eksportir. Itu sama saja paradigma BI hanya pada satu sisi, dolar AS menguat. “Ini sama saja Anda bilang, eh ini dolar AS bakal terus menguat lho? Harusnya kan satu saat rupiahnya bisa menguat,” tambahnya.
Laporan 3 Bulanan
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar, Misbakhun menyesalkan sikap Gubernur BI yang lebih memilih menghadiri pertemuan dengan IMF di Peru, ketimbang memenuhi undangan komisis IX. Menurutnya meski dalam UU BI dijelaskan independensi BI, tetap harus ada mekanisme pelaporan anggaran dan kebijakan pengelolaan nilai tukar BI tiap 3 bulanan le BI.
“Di UU nya bunyi begitu, artinya ada check and balances, gak bener dong kalau BI mau benar sendiri, kami ingin melihat apa BI jalannya sudah sesuai standar operational procedur (SOP), berapa selisih lebih yang dia dapatkan dari pengelolaan nilai tukar ini, tahun 2015 ini pasti mereka sudah punya hitungannya kan?,” katanya.