MESKIPUN sudah putusan Mahkamah Konstitusi, mayoritas fraksi di Komisi II DPR masih ngotot mengutak-atik UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Hal itu terkait kepesertaan anggota DPR dan DPRD (Pasal 7 huruf s) yang harus mengundurkan diri ketika ikut kontestasi dalam pilkada. Para wakil rakyat itu mengusulkan agar mereka tidak harus mengundurkan diri alias cuti.
“Usulan itu ngawur. Putusan MK itu memiliki sifat dan nilai hukum konstitusional, maka DPR dan presiden terikat pada putusan itu,” kata ahli hukum tata negara Margarito Kamis saat dihubungi tadi malam.
Dia menambahkan, apabila DPR berkeras memasukkan klausul tersebut, tidak menutup kemungkinan pasal itu akan diujimaterikan (judicial review) kembali ke MK. “Pasal baru itu pasti dinyatakan inkonstitusional bila diuji lagi ke MK,” tukas Margarito.
Setali tiga uang, pakar hukum tata negara Asep Warlan menilai DPR tidak bisa memasukkan kembali substansi dari norma UU yang telah diuji oleh MK. Hal itu akan membuat ketidakpastian hukum dalam pembentukan UU.
“Jika dinilai bertentangan dengan UUD 45, tidak bisa dimasukkan lagi ke revisi. Sama saja DPR tidak menghormati putusan MK kalau begitu caranya,” terangnya.
Tadi malam, Komisi II DPR bersama pemerintah melakukan konsinyasi revisi UU Pilkada di sebuah hotel di Jakarta. Pertemuan berlangsung tertutup.
Menurut anggota Komisi II dari Fraksi PPP Amirul Tamim, sejumlah fraksi belum bulat menyikapi tiga isu krusial, yaitu syarat calon perseorangan, sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon dan keharusan mundur dari jabatan bagi anggota DPR, DPRD, birokrat, anggota TNI, dan Polri saat berlaga dalam pilkada.
Amirul berpendapat, putusan MK menghambat kader partai politik yang menjabat sebagai anggota DPR dan DPRD berkontestasi dalam pilkada. Akibatnya, banyak anggota dewan yang enggan mencalonkan diri karena harus mundur.
“Kader partai politik itu salurannya menjadi anggota DPR, DPRD, kemudian kepala daerah, itu karier politik. Untuk meneruskan ke eksekutif menjadi kepala daerah, masak dilarang?” kata Amirul.
Dalam pandangan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, semua jabatan memiliki hak dan kedudukan yang sama. “Jangan sampai nanti apa yang sudah diubah, di-judicial review lagi (ke MK), lalu dibatalkan oleh MK, itu akan repot. Yang jelas prinsip kita antara PNS, TNI/Polri, dan legislastif punya hak dan kedudukan yang sama,” tuturnya di Jakarta, kemarin.
Calon perseorangan
Pada bagian lain, Komisi II pun mewacanakan menaikkan syarat dukungan bagi calon independen dari 6,5%-10% (sesuai putusan MK) menjadi 15%-20% dari jumlah daftar pemilih tetap.
Pakar hukum tata negara Saldi Isra mengatakan, jika partai politk memandang kehadiran calon perseorangan bisa menimbulkan kompetisi, ketentuan persyaratan untuk jalur nonpartai diperkecil, bukan malah diperbesar.
“Kalau mau menciptakan pemilu yang berkualitas dan memberikan dampak positif untuk partai politik, kita harus mempermudah calon perseorangan,” ujarnya.
Terkait pembubuhan meterai dari individu menjadi per desa bagi calon independen, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan seharusnya tidak perlu. “Nantikan ada verifikasi faktual oleh KPU,” tandasnya.
Komisi II DPR menargetkan revisi UU Pilkada tuntas sebelum 29 April.