PERLAKUAN kepada pendukung pasangan nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, di antaranya bila meninggal tidak diurus jenazahnya sebagamana mestinya, mirip zaman Presiden Soekarno.
Saat itu marak pembunuhan kepada warga setelah peristiwa G-30-S terjadi di Jakarta. Kemudian jenazah dibiarkan tergeletak begitu saja.
“Bung Karno mengecam keras pembunuhan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah setelah peristiwa G-30-S terjadi di Jakarta. Bung Karno menerima informasi bahwa mayat-mayat korban pembunuhan dibiarkan tergeletak karena ada ancaman kepada siapa pun yang hendak mengurus jenazah dengan baik,” ungkap sejarawan Boni Triana saat dihubungi, kemarin.
Kemarahan itu, kata dia, diungkapkan Bung Karno saat berpidato di hadapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Bogor, 18 Desember 1965.
Demokrasi Indonesia saat ini, lanjutnya, jauh lebih baik. Ia menyebutkan penyebaran kebencian tidak boleh dibiarkan, termasuk membawa nama agama.
Kini, menjelang pilkada DKI putaran kedua, marak spanduk provokatif yang melarang menyalatkan jenazah pendukung Basuki karena diduga menodai agama Islam.
Sebelumnya, Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengeluarkan fatwa larangan menyalatkan jenazah pendukung Basuki sebagai bentuk sanksi sosial. Fatwa Nomor: 06/B-MAFATIHA/II/1438/2017 itu diberi judul ‘Sanksi Agama bagi Pendukung Penista Agama dan Pemilih Calon Pemimpin Non-muslim’.
“Pentingnya sanksi hukum sebagai pembelajaran sosial, tujuan kemaslahatan umum, memenuhi rasa keadilan, tanggung jawab pelaku perbuatan, menumbuhkan efek jera dan perwujudan ketaatan terhadap syariat,” kata Ketua Pusat Kajian DDII Dr Zain An-Najah, dalam lembar fatwanya, disahkan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 25 Februari 2017, pada Haflah 1/2 Abad Dewan Dakwah, sebagaimana dikutip Voa-islam.com.