Badan Keahlian DPR RI (BKD) menerima DPRD Kabupaten Maluku Tenggara di Gedung Setjen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (20/03/2017). Dalam pertemuan tersebut, DPRD Maluku Tenggara mengkonsultasikan beberapa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), mereka ingin mengakomodir beberapa hukum adat setempat ke dalam Raperda.
“Kami ingin mendalami beberapa hal, salah satunya yaitu untuk produk hukum daerah yang kita coba terjemahkan dari pembuatan ketentuan perundang-undangan yang ada di DPR untuk diimplementasikan,” ungkap Wakil Ketua DPRD Maluku Tenggara Eusebius Utha Safsafubun.
Lebih lanjut, ia menyampaikan dalam kehidupan bermasyarakat, Suku Kei (suku asli Maluku Tenggara) masih mengutamakan hukum adatnya. Salah satu ketentuan yang sulit diubah ialah penentuan Kepala Desa, dimana hanya marga atau keturunan tertentu yang bisa menduduki jabatan tersebut.
Menurutnya, peraturan tersebut sudah diadopsi di perda dan berlaku sejak 2009. Namun, lanjutnya, setelah perda diberlakukan terjadi gesekan di masyarakat, terlebih lagi dengan aturan keluarnya transfer dana desa yang diamanatkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
"Banyak orang yang tidak punya hak mengklaim bahwa itu hak mereka. Sehingga ada beberapa pasal yang mau kita revisi agar bisa dikembangkan jauh lebih bagus sesuai dengan perkembangan zaman," jelasnya.
Menanggapi hal itu, Kepala BKD Johnson Rajagukguk mengatakan hukum adat bisa saja dimasukkan kedalam suatu Raperda melalui unsur pertimbangan, karena unsur mengingat harus berdasarkan pada regulasi yang lebih tinggi.
"Tetapi dengan berdasarkan beberapa pertimbangan seperti prinsip kedaulatan NKRI dan tidak membedakan tugas wanita dan pria, contohnya untuk menjadi kepala suku," ungkap Johnson.
Selain itu, tambah Johnson, diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi di dalam membuat rancangan perda, sehingga nantinya bisa terlihat apakah suatu Raperda bertentangan dengan UU atau tidak.