Komisi X DPR RI mendorong Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Inovasi (Kemendikbudristek) untuk menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bagi semua lapisan pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan akhlak dan budi pekerti pelajar yang tengah merosot akibat banyaknya kasus bullying dan kekerasan.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf. Ia menilai, penyebab banyaknya terjadi peristiwa kekerasan dan perundungan anak salah satunya karena kurangnya pendidikan moral di bangku sekolah.
"Menurut saya kondisi ini sudah darurat moral, bukan lagi krisis moral. Karena pendidikan bagaimana menghargai orang lain, bagaimana menolong orang lain itu kan tidak ada pendidikannya," kata Dede, Kamis (5/10/2023).
Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tengah menyita perhatian masyarakat saat seorang siswa di SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah dengan tega memukul dan menendang teman sekelasnya. Peristiwa bullying berujung penganiayaan itu viral di media sosial.
Ada juga peristiwa kekerasan yang dialami seorang guru madrasah aliyah di Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah. Korban dibacok siswanya sendiri saat asesmen tengah semester. Beberapa waktu lalu, seorang siswi SD di Gresik, Jawa Timur pun diduga dipalak dan dicolok matanya sampai buta oleh kakak kelasnya.
Dengan adanya rentetan peristiwa kekerasan dan bullying di lingkup sekolah, Dede menilai pendidikan akhlak sangat penting untuk membina anak-anak penerus bangsa. Terlebih Indonesia sendiri menjunjung tinggi adab ketimuran yang di dalamnya berisi tentang adab kesopanan, saling menghargai dan menghormati.
"Tapi, di era media sosial seperti ini, siswa tidak bisa disalahkan. Kalau siswa kita salahkan, nanti penjara anak akan penuh. Jadi, mau tidak mau, pendidikan akhlak anak harus kita perhatikan sejak dini. Dari sejak PAUD, dari sejak SD," jelas Dede.
Selain itu, legislator dari Dapil Jawa Barat II ini juga mendorong untuk dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) di tiap-tiap sekolah, untuk mengantisipasi adanya perundungan dan kekerasan. Dede menyebut, Satgas ini nantinya berisi para guru, orang tua dan anggota Babinsa atau Bhabinkamtibmas.
"Satgas ini sangat penting untuk menanamkan pendidikan karakter yang dibutuhkan bagi anak-anak dalam menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Karena Satgas ini melibatkan seluruh aspek masyarakat dan penegak hukum, untuk mengawasi, mendidik dan membina anak," jelasnya.
Dengan hadirnya Satgas tersebut, Dede berharap dapat meredam kenakalan anak-anak, khususnya yang dilakukan di luar lingkungan sekolah. Seperti yang baru-baru ini terjadi saat geng motor yang berisikan anak-anak di bawah umur melakukan aksi kekerasan terhadap warga yang tengah melaksanakan ronda di Kampung Bandan, Jakarta Utara.
"Anak-anak yang ikut-ikutan masuk atau membuat geng-geng seperti geng motor juga cukup mengkhawatirkan karena sering bertindak melawan hukum. Satgas ini juga bisa mengantisipasi hal itu," papar Dede.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini pun menilai, kenakalan remaja juga tidak terlepas dari faktor internal mereka. Untuk itu, Dede mengimbau agar orangtua dan pihak keluarga memperhatikan dengan serius aktivitas dari anak-anak.
"Oleh karena itu penting sekali peran orang tua dalam membina anak, jangan sampai si anak malah terjerumus aktivitas negatif yang berakibat melawan hukum. Orang tua harus menjadi teman bagi anak dan mengarahkan ke mana minat dan bakatnya," tuturnya.
Lebih lanjut, Komisi X DPR yang membidangi urusan pendidikan juga menganggap era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi turut berperan terhadap maraknya aksi bullying maupun kenakalan remaja lainnya. Dede menyebut, banyak anak terpengaruh atas konten-konten negatif di media sosial dan game.
“Itu juga jadi pemicu terkikisnya moral anak karena banyak konten negatif di media sosial, termasuk game-game. Anak-anak itu perekam yang baik, mereka gampang mencontoh apa yang dilihatnya kan,” sebutnya.
"Tayangan-tayangan ataupun game-game yang dimainkan sekarang oleh anak-anak itu, tidak ada filternya. Main tembak, main bunuh, main tabrak. Mereka kan polos, mereka adopsi saja itu dari game. Jadi sebaiknya harus ada filter,” tutup Dede.