Rebutan wilayah mencari ikan yang hampir memicu kembali konflik di Tarakan Senin (28/3) lalu dinilai DPRD akibat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) lalai menjalankan salah satu tugas pokoknya; yaitu pengawasan di lapangan. Hal ini disampaikan anggota Komisi II DPRD Tarakan dari Fraksi Patriot Adnan Hasan Galoeng kepada Koran Kaltim, kemarin.
Menurutnya, perhatian DKP yang kurang mengakibatkan permasalahan sepele seperti rebutan wilayah bisa mengakibatkan terjadinya pengrusakan 8 kapal dan 2 di antaranya dibakar dalam sehari. “DKP harus kembali menata dan melakukan evaluasi terhadap kinerja bawahannya. Jangan hanya duduk di kantor dan menandatangani perijinan saja,” ujarnya.
Padahal, menurutnya DKP pun sudah diberikan fasilitas berupa 3 kapal patroli laut yang memiliki kapasitas pengamanan yang tidak kalah cepat dengan kapal patroli milik Basarnas dan Polairud. “3 Kapal ini dianggarkan melalui APBN dan APBD Tarakan. Kalau hanya dianggarkan dan disimpan saja kemudian tidak digunakan untuk memantau kondisi nelayan dan sekitar laut Tarakan, lalu fungsinya kapal ini buat apa ?,” ungkapnya.
Ia menambahkan, DKP seharusnya tidak hanya melakukan pendekatan kepada nelayan melalui sosialisasi saja, melainkan juga dengan pendekatan ke lapangan dan memantau langsung kondisi nelayan di laut.
“Sosialisasi saja yang saya lihat sering dilakukan. Tetapi DKP sangat kurang sekali melakukan pantauan langsung di laut. Setelah muncul masalah seperti ini, masyarakat seperti diberikan kesempatan melakukan tindakan anarkis,” kata Adnan.
Hal lain katanya, sama seperti yang diungkapkan korban pembakaran kapal, DKP menganggap remeh aduan warga dn tidak melakukan koordinasi secepatnya dengan kepolisian setelah menerima laporan ancaman pengrusakan kapal.
“Sepertinya DKP tidak mau ambil pusing urusan nelayan. Padahal nelayan lah yang seharusnya jadi tumpuan perhatian DKP. Pekerjaan DKP itu ya memerhatikan Nelayan. DKP ini lamban menyikapi permasalahan nelayan. Seharusnya DKP cepat melakukan antisipasi, koordinasi dengan Polairud atau Polres kah. Jadi masalahnya tidak jadi sebesar ini. kasihan masyarakat kita yang hasil ikannya saja sudah sedikit ditambah lagi harus rugi dan tidak bisa melaut lagi. Apa DKP juga mau ikut bertanggung jawab?” terangnya.
Persoalan wilayah pencarian ikan pun, diterangkan Adnan seharusnya masyarakat juga sudah memahami. Pasalnya, sudah diatur dengan jelas melalui Peraturan Menteri (Permen). “Aturannya sudah jelas, di Permen No.06 Tahun 2008 dan di revisi di Permen no.14 Tahun 2008 juga bahwa area tangkapan ikan 1 hingga 4 Mil laut untuk kapal 1-10 Gross Ton (GT) dan ijinnya diatur oleh Kepala Daerah. Jadi untuk Nelayan dengan kapal 0 hingga 1 GT mencari ikan di bawah 1 Mil, dan tidak perlu ijin kepala daerah tetapi asalkan terdaftar di DKP saja,” terangnya.
Atas aturan itu lah, seharusnya DKP menurut Adnan harus memberikan pengawasan serta pengertian di lapangan bahwa perbedaan kelompok tidak lantas menjadi alasan untuk mengklaim wilayah mencari ikan.
Permasalahan pos bantuan pengamanan juga diaggap Adnan sebagai salah satu perhatian Pemerintah untuk segera membangun pos bantuan kemanan di Tanjung Pasir Kecamatan Tarakan Timur. Pasalnya, medan jalan menuju Tanjung Pasir ini sangat rawan dan rusak berat karena memang tidak di aspal tetapi hanya jalan buatan masyarakat saja. Jadi untuk jalur yang mudah hanya melalui laut saja.
“Kalau ada kejadian seperti kemarin dan tidak ada pengamanan dari polisi, akibatnya aksi anarkis membuat masyarakat kecil mengalami kerugian hingga ratusan juta. Seharusnya pihak keamanan juga sudah memikirkan langkah-langkah antisipasi dengan membangun pos bantuan kemanan di Tanjung Pasir,” ujar Adnan.
“Tanjung Pasir ini kan pintu masuk Tarakan dari wilayah lain seperti Bulungan dan Malinau. Pos bantuan pengamanan sangat perlu. Nanti akan kita upayakan alokasi anggaran untuk pembangunan pos bantuan keamanan melalui APBD Perubahan 2011. Jadi permasalahan serupa tidak terulang lagi. Kita ingin menjalani hidup di Tarakan dengan damai,” harapnya. (saf)