Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang revisi atau perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK). Persetujuan UU MK tersebut diharapkan mampu memperbaiki proses pengambilan keputusan di MK pada masa-masa mendatang.
Di dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (21/6), Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Dimyati Natakusumah, mengatakan, berdasarkan laporan mengenai hasil revisi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK terdapat beberapa perubahan yang dilakukan antara lain mengenai masa jabatan Ketua MK, yakni 2,5 tahun dari sebelumnya tiga tahun.
"Masa jabatan Ketua MK hanya 2,5 tahun dan setelah itu dilakukan pemilihan ulang di antara sembilan hakim anggota dan yang bersangkutan dapat dipilih kembali," ujarnya.
Selain itu, Dimyati juga mengatakan, dalam UU tersebut juga diatur soal batasan usia hakim konstitusi, yakni 70 tahun. Selain itu, untuk persoalan yang menyangkut pencalonan sembilan Hakim MK pun dilakukan oleh tiga unsur, yakni tiga calon dari presiden, tiga calon dari DPR, dan tiga calon dari Mahkamah Agung (MA).
Optimalkan Kinerja
Tak hanya, terdapat pula ketentuan baru tentang keanggotaan Majelis Kehormatan MK yang tidak hanya beranggotakan internal MK, tetapi juga satu anggota dari Komisi Yudisial (KY), satu hakim agung dari Mahkamah Agung, satu unsur Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang hukum, dan satu unsur DPR.
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa, dengan disahkannya UU MK maka diharapkan proses pengambilan keputusan di MK dapat lebih optimal, termasuk proses judicial review yang diharapkan tidak terganggu dengan masalah semisal kekacauan dalam pilkada yang kerap menimbulkan kontroversi.
"Tentunya kita akan terus berusaha untuk memperbaiki dan menguatkan MK," katanya.
Pada kesempatan itu, dia menampik anggapan dari sejumlah pakar dan pengamat hukum yang menyebut bahwa DPR sengaja menutupi proses revisi UU MK dan mengebiri kewenangan MK yang selama ini terkenal cukup kontroversial dalam membuat putusan terkait judicial review terhadap produk UU yang dihasilkan DPR.
"Sebenarnya kita tidak sembunyikan, tapi ini persoalannya lebih pada perhatian publik. Kadang media massa lebih fokus pada UU yang kontroversi, seperti RUU Tipikor yang belum masuk tapi luar biasa diberitakan. Sedangkan respons untuk RUU MK ini mungkin kurang," ujarnya.
Saan menilai, DPR telah berupaya maksimal untuk memperkuat fungsi MK dengan membuat sejumah peraturan yang ketat terkait syarat hakim MK.
Namun, jika hal itu dinilai masih kurang memuaskan, terutama dari kalangan akademisi dan pakar hukum, maka masih terbuka peluang untuk melakukan judicial review.