Perubahan UU MK, Legislator Sarankan Dengan Revisi Bukan Perppu

Anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar menilai perubahan Undang-Undang tenang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), melainkan cukup melalui revisi saja.

“Soal perubahan UU MK melalui Perppu, saya rasa tidak pas, karena sebenarnya tiga substansi dalam Perppu MK, yang berkaitan dengan persyaratan hakim, seleksi hakim, serta pengawasan hakim MK, lebih cocok diatur dalam revisi Undang-Undang MK,” kata Aboe Bakar dalam acara diskusi Penyerahan Dukungan Masyarakat Sipil Tolak Perppu MK yang dilaksanakan di Gedung Nusantara III DPR Jakarta.

Aboe tidak melihat adanya keadaan mendesak atau urgensi untuk Presiden mengeluarkan Perppu MK, karena MK dinilai masih dapat berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada. Belum ada hal ikhwal yang memaksa dan menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut Presiden mengeluarkan Perppu.

Namun, ia mengakui hal ikhwal yang memaksa dalam syarat penerbitan Perppu memang cenderung menjadi hak subjektif Presiden.

UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1 menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Berdasarkan ketentuan itu, secara konstitusional Presiden memang memiliki kewenangan subjektif untuk menerbitkan Perppu dengan syarat terdapat kegentingan yang memaksa. “Akan tetapi, UUD 1945 tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa itu,” tuturnya.

Walaupun demikian, Aboe menyebutkan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 yang menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.

Syarat pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu lama, sedangkan keadaannya mendesak dan perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Bila kondisi di MK tidak mencerminkan kegentingan yang memaksa seperti syarat-syarat itu maka Perppu sebetulnya tidak perlu, cukup dengan revisi,” ujarnya.

Bila memang akan dilakukan revisi terhadap UU MK, dapat ditempuh jalur reguler sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Revisi Perppu

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin menuturkan, DPR kemungkinan akan merevisi sebagian isi Perppu tentang Penyelamatan Mahkamah Konstitusi yang telah diterbitkan Presiden. “DPR RI masih menunggu Perppu tentang Penyelamatan MK. Setelah diterima, kami akan mempelajari dulu substansinya,” katanya.

Menurut Azis, sesuai amanah konstitusi Presiden memilki kewenangan menerbitkan Perppu dalam dalam situasi yang mendesak. Namun, Perppu yang diterbitkan oleh Presiden itu tidak otomatis berlaku, tapi harus diuji dulu di DPR RI selama 30 hari kerja. “Jika DPR RI menyetujui, maka Perppu itu berlaku. Sebaliknya, jika DPR RI menolaknya, maka kembali ke UU yang lama,” ucapnya.

Politisi Partai Golkar ini menambahkan, jika selama 30 hari kerja DPR RI tidak memberikan sikapnya, menerima atau menolak, maka dianggap DPR RI menerimanya, sehingga Perppu itu akan berlaku. waktu 30 hari kerja itu bukan berdasarkan penanggalan kalender, tapi disesuaikan dengan masa persidangan DPR RI.

DPR RI sendiri akan memasuki masa reses pada 26 Oktober mendatang. Jika sebelum reses, Perppu baru lima hari diteken Presiden, maka sisa 25 hari lainnya, setelah reses yakni pada masa persidangan berikutnya.

Ketika ditanya, soal kemungkinan sikap DPR RI, apakah akan menerima atau menolak, Azis mengatakan, akan mempelajarinya lebih dulu. Namun kalau melihat sekilas materinya, sebagian isi Perppu perlu direvisi, antara lain soal Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan panel hakim konstitusi.

Azis menilai, perlu adanya MKH yang indepenen sebagai lembaga pengawas MK, sehingga MK memiliki kinerja lebih baik. “MKH yang independen harus berdiri sendiri dan berada di luar MK,” katanya.

Diposting 25-10-2013.

Mereka dalam berita ini...

Azis Syamsuddin

Anggota DPR-RI 2009-2014 Lampung II
Partai: Golkar

Aboe Bakar Al Habsyi

Anggota DPR-RI 2009-2014 Kalimantan Selatan I
Partai: PKS