Pemerintah diminta meningkatkan pengawasan terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia. Ini karena barang impor yang masuk itu terindikasi banyak melanggar peraturan dan perundang-undangan terkait proses ekspor-impor.
Selama ini barang impor yang masuk ke Indonesia, khususnya yang berkategori barang konsumsi rumah tangga, mulai dari makanan hingga produk industri manufaktur, kualitasnya di bawah standar yang ditetapkan pemerintah atau standar nasional Indonesia (SNI). Bahkan, tidak hanya di bawah standar mutu, tetapi juga barang impor yang masuk banyak yang terindikasi membahayakan kesehatan masyarakat dan membawa penyakit.
Parahnya, pemerintah melalui instansi terkait justru terkesan melakukan pembiaran dan menutup mata tentang masuknya barang impor yang di bawah standar itu. Bahkan meski jumlah dan spesifikasi barang impor tidak sesuai manifes, aparat juga tetap meloloskannya untuk masuk ke pasaran dalam negeri. Jumlah barang impor yang masuk diduga jauh lebih banyak dari laporan tertulis. Ini belum termasuk barang impor yang masuk ke pasar dalam negeri secara ilegal.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khairon kepada Suara Karya di Jakarta, Selasa (8/3), mengatakan, pemerintah harus menerapkan standardisasi barang/produk impor yang masuk ke Indonesia. Pengetatan pengawasan barang yang masuk hingga optimalisasi peran karantina juga perlu dilakukan. Ini sebagai upaya untuk menghindari kian maraknya produk impor yang mutunya tidak baik masuk ke pasaran, sehingga bisa menghantam kelangsungan industri dan UKM nasional.
"Kalau Indonesia diserbu oleh barang murah asal China yang kualitasnya tidak jelas, tentu saja akan kalah. Masyarakat konsumen lebih mementingkan harga yang murah. Meski mutunya kurang baik, harganya jauh lebih murah dibanding produk serupa yang diproduksi industri dan UKM nasional," katanya.
Herman lantas mempertanyakan mengapa produk impor, khususnya dari China, yang kualitasnya rendah bisa dengan mudah masuk ke Indonesia. Padahal di negara-negara lainnya, masalah standardisasi produk impor sangat diperhatikan. Dalam hal ini, produk impor harus dipastikan aman bagi masyarakat. "Ini yang harus dicermati pemerintah, khususnya Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Menteri Kesehatan serta Ditjen Bea dan Cukai," ucapnya.
Menurut Herman, produk impor khususnya dari China yang masuk ke Indonesia justru sebagian besar yang berkualitas rendah dan membahayakan kesehatan masyarakat. Sebut saja barang-barang konsumsi rumah tangga dan mainan anak.
"Memang perjanjian pasar bebas ASEAN dan China tidak dapat lagi dihindarkan. Begitu juga dengan perjanjian mengikat dengan WTO mengenai pangan. Namun, untuk mengantisipasi dampak buruknya, pemerintah harus menyiapkan standardisasi yang memadai," tuturnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, perjanjian ekonomi secara bilateral, regional, dan unilateral menyangkut hajat hidup orang banyak di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya berhati-hati dan terus mengevaluasi pelaksanaannya. Terutama terkait pelaksanaan perdagangan bebas.
"Jika memang situasi belum memungkinkan dan membahayakan ekonomi nasional, pengkajian ulang dan evaluasi harus dilakukan. Jangan berlagak siap, padahal kebijakan memang dipaksakan. Hasilnya pasti tidak akan baik. Saat ini pengawasan sangat penting. Jika ada barang salah masuk ke Indonesia, petugas Bea dan Cukai atau lembaga terkait lainnya harus tegas menindak si pembawa barang, sehingga ada efek jera yang dikenakan kepada importir ilegal," kata Herman.
Sementara itu, pengamat ekonomi Hendrawan Supratikno mengatakan, pemerintah tidak lagi berdaya melawan perjanjian yang telah disepakati dengan WTO dan kesepakatan perdagangan bebas. Dengan ini, maka liberalisasi ekonomi, khususnya di bidang perdagangan pangan atau produk lainnya, tidak dapat lagi dibendung.
"Sekarang tinggal bagaimana pemerintah menyiasati perjanjian tersebut agar tidak memorak-porandakan perekonomian Indonesia," katanya.
Saat ini, menurut Hendrawan, pemerintah sedang menuai kritik sebagai dampak dari kebijakan ekonomi lepas tangan yang merupakan kelanjutan dari prinsip liberalisasi yang mengusung mekanisme pasar. Pemerintah sekarang tampak tidak berdaya menghadapi perdagangan bebas yang sudah tidak terkendali lagi, meski dampaknya sudah menghancurkan industri dan UKM nasional.
"Paradigma pembangunan ekonomi seharusnya segera dikoreksi pemerintah. Jika tidak, Indonesia akan terus tersandera oleh kebijakan yang memang ditanamkan sejak lama oleh asing dan itu akan menghancurkan perekonomian nasional," tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, China masih menjadi pemasok terbesar barang impor nonmigas Indonesia selama Januari 2011. Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, 18,95 persen dari total impor nonmigas bernilai 9,58 miliar dolar AS berasal dari China.
Menurut data BPS, nilai impor barang nonmigas dari China selama Januari 2011 itu sebanyak 1,82 miliar dolar AS. Ini lebih tinggi dari impor Indonesia pada 27 negara Uni Eropa yang bernilai 833,5 juta dolar AS.
Pangsa barang impor dari China juga lebih besar dibanding barang impor dari Jepang yang hanya 14,40 persen, Singapura 8,55 persen, Thailand 6,85 persen, dan Amerika Serikat 7,09 persen. Menurut catatan BPS, secara keseluruhan, pemberi kontribusi terbesar pada impor Indonesia selama Januari 2011 terkait pembelian bahan baku/penolong yang porsinya 75,08 persen, kemudian barang modal 16,71 persen, dan barang konsumsi 8,21 persen.
BPS juga mencatat, nilai impor pada Januari 2011 secara keseluruhan naik 4,55 persen dibanding Desember 2010 atau naik 32,22 persen dibanding Januari 2010, terutama masih didominasi barang-barang nonmigas. Total impor barang nonmigas selama bulan pertama 2011 tercatat 9,58 miliar dolar AS. Paling banyak berupa golongan barang mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan peralatan listrik. Nilai impor golongan barang mesin dan peralatan mekanik sebanyak 1,72 miliar dolar AS.